Beranda | Artikel
Puasa Tetapi Tidak Shalat, Puasa Tidak Sah
Rabu, 17 Juni 2015

Itulah yang kita dapati di bulan Ramadhan. Banyak yang baru jadi sadar shalat ketika bulan Ramadhan. Banyak yang baru rajin ke masjid ketika bulan Ramadhan. Kalau di luar bulan Ramadhan, tahulah sendiri. Lihat saja keadaan masjid-masjid kita bagaimana?

Puasa Harus Jauhi Bermaksiat

Orang yang berpuasa tentu harus pula meninggalkan maksiat. Karena puasa bukan hanya meninggalkan makan dan minum atau tidak berhubungan intim, namun puasa juga hendaklah meninggalkan maksiat. Kata-kata kotor mesti dijauhi. Kata-kata yang menyakiti orang lain pula mesti dihindarkan.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ

Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan lagwu dan rofats. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”.” (HR. Ibnu Khuzaimah 7: 282 dan Hakim 4: 111. Syaikh Al Albani dalam Shohih At-Targib wa At-Tarhib no. 1082 mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Jangan sampai yang berpuasa hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ

Betapa banyak orang yang berpuasa hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga saja. Betapa banyak pula yang melakukan shalat malam, hanya jadinya begadang di malam hari.” (HR. Ahmad 2: 373. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid).

Meninggalkan Satu Shalat Saja Bisa Merusak Amal

Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan:

Penghapus amalan ada dua yaitu umum dan khusus.

Penghapus amalan yang umum ada dua yaitu yang menghapuskan amalan kebaikan seluruhnya yaitu dengan murtad (melakukan pembatal keislaman atau keluar dari Islam) dan yang menghapuskan setiap kejelekan (dosa) yaitu dengan bertaubat.

Penghapus amalan yang khusus yaitu antara kebaikan dan kejelekan itu menghapuskan satu dan lainnya. Ini adalah penghapus amalan yang bersifat parsial namun bersyarat.

Perlu diketahui bahwa kekafiran dan iman itu bisa menghapuskan satu dan lainnya, begitu pula cabang kekafiran dan cabang keimanan bisa menghapuskan satu dan lainnya. Jika semakin besar cabang keimanan atau kekafiran tersebut, maka semakin banyak yang hilang dari cabang keimanan atau kekafiran tersebut. (Lihat Ash-Shalah, hlm. 60).

Karena saking pentingnya shalat, meninggalkan satu shalat saja bisa menghapuskan amalan, seperti yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebutkan mengenai shalat Ashar,

مَنْ تَرَكَ صَلاَةَ الْعَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ

Barangsiapa meninggalkan shalat Ashar, maka terhapuslah amalannya” (HR. Bukhari no. 594)

Tidak Shalat Bukanlah Muslim

Coba perhatikan hadits berikut yang menunjukkan bahayanya meninggalkan shalat.

Dari Mihjan, ia berkata,

أَنَّهُ كَانَ فِى مَجْلِسٍ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَذَّنَ بِالصَّلاَةِ – فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ رَجَعَ وَمِحْجَنٌ فِى مَجْلِسِهِ – فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا مَنَعَكَ أَنْ تُصَلِّىَ أَلَسْتَ بِرَجُلٍ مُسْلِمٍ ». قَالَ بَلَى وَلَكِنِّى كُنْتُ قَدْ صَلَّيْتُ فِى أَهْلِى فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا جِئْتَ فَصَلِّ مَعَ النَّاسِ وَإِنْ كُنْتَ قَدْ صَلَّيْتَ

“Beliau pernah berada di majelis bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dikumandangkan azan untuk shalat. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, lalu mengerjakan shalat, sedangkan Mihjan masih dudk di tempat semula. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Apa yang menghalangimu shalat, bukankah engkau adalah seorang muslim?” Lalu Mihjan mengatakan, “Betul. Akan tetapi saya sudah melaksanakan shalat bersama keluargaku.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan padanya, “Apabila engkau datang, shalatlah bersama orang-orang, walaupun engkau sudah shalat.” (HR. An-Nasa’i no. 858 dan Ahmad 4: 34. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan pembeda antara muslim dan kafir dengan shalat. Maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada Mihjan, seandainya ia muslim, maka pasti akan shalat. Hal ini sama saja jika dikatakan, “Kenapa engkau tidak berbicara, bukankah engkau adalah orang yang mampu berbicara?” atau “Kenapa engkau tidak bergerak, bukankah engkau orang yang hidup?”

Seandainya seseorang disebut muslim tanpa mengerjakan shalat, maka tentu tidak perlu dikatakan pada orang yang tidak shalat, “Bukankah kamu adalah seorang muslim?” (Ash-Shalah, hlm. 41)

Saat-saat ‘Umar bin Al-Khattab menjelang sakratul maut setelah ditusuk, ia berkata,

لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ

“Orang yang meninggalkan shalat bukanlah muslim.” (Riwayat ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Ash Shalah, hlm. 41-42)

Mayoritas sahabat Nabi menganggap bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kafir sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi’in, Abdullah bin Syaqiq,

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ

“Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan seorang kafir kecuali shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2622 dan Hakim 1: 7. Perkataan ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy seorang tabi’in dan Hakim mengatakan bahwa hadits ini bersambung dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan sanad [periwayat] hadits ini adalah shahih. Lihat Ats-Tsamar Al-Mustathob fi Fiqh As-Sunnah wa Al-Kitab, hal. 52).

Sayangnya Jika Hanya Shalat di Bulan Ramadhan

Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’ pernah ditanya:

“Apabila seseorang hanya di bulan Ramadhan semangat melakukan puasa dan shalat, namun setelah Ramadhan berakhir dia meninggalkan shalat, apakah puasanya di bulan Ramadhan diterima?”

Jawab:

“Shalat merupakan salah satu rukun Islam. Shalat merupakan rukun Islam terpenting setelah dua kalimat syahadat. Dan hukum shalat adalah wajib bagi setiap individu. Barangsiapa meninggalkan shalat karena menentang kewajibannya atau meninggalkannya karena menganggap remeh dan malas-malasan, ia kafir. Adapun orang yang melakukan puasa Ramadhan dan mengerjakan shalat hanya di bulan Ramadhan saja, maka orang seperti ini berarti telah melecehkan agama Allah. (Sebagian salaf mengatakan), “Sejelek-jelek kaum adalah yang mengenal Allah (rajin ibadah, pen.) hanya pada bulan Ramadhan saja.”

Oleh karena itu, tidak sah puasa seseorang yang tidak melaksanakan shalat di luar bulan Ramadhan. Bahkan orang seperti ini (yang meninggalkan shalat) dinilai kafir dan telah melakukan kufur akbar, walaupun orang ini tidak menentang kewajiban shalat. Orang seperti ini tetap dianggap kafir menurut pendapat ulama yang paling kuat. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda,

الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah mengenai shalat, barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah dengan sanad yang shahih dari Buraidah Al Aslamiy)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ

Inti (pokok) segala perkara adalah Islam, tiangnya (penopangnya) adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah.” (HR. Tirmidzi dengan sanad shahih dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu)

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الْكُفْرِ وَ الشِّرْكِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

Pembatas antara seorang muslim dengan kekafiran dan kesyirikan adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah Al-Anshariy). Dan banyak hadits yang semakna dengan hadits-hadits di atas.

Wa billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.

Fatwa di atas ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku ketua, Syaikh ‘Abdur Razaq ‘Afifi selaku wakil ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Mani’ dan ‘Abdullah bin Ghudayan selaku anggota.

(Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah Li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’, pertanyaan ke-3, Fatawa no. 102, 10: 139-141)

Puasa Tetapi Tidak Shalat

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Puasa yang dilakukan oleh orang yang meninggalkan shalat tidaklah diterima karena orang yang meninggalkan shalat berarti kafir dan murtad. Dalil bahwa meninggalkan shalat termasuk bentuk kekafiran adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya),”Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” (QS. At Taubah: 11)

Alasan lain adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Pembatas antara seorang muslim dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 82). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah mengenai shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. An-Nasa’i no. 463, Tirmidzi no. 2621, Ibnu Majah no. 1079 dan Ahmad 5: 346. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Pendapat yang mengatakan bahwa meninggalkan shalat merupakan suatu kekafiran adalah pendapat mayoritas sahabat Nabi bahkan dapat dikatakan pendapat tersebut termasuk ijma’ (kesepakatan) para sahabat.

‘Abdullah bin Syaqiq -rahimahullah- (seorang tabi’in yang sudah masyhur) mengatakan, “Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amalan yang apabila seseorang meninggalkannya akan menyebabkan dia kafir selain perkara shalat.” Oleh karena itu, apabila seseorang berpuasa namun dia meninggalkan shalat, puasa yang dia lakukan tidaklah sah (tidak diterima). Amalan puasa yang dia lakukan tidaklah bermanfaat pada hari kiamat nanti.

Kami katakan, “Shalatlah kemudian tunaikanlah puasa”. Adapun jika engkau berpuasa namun tidak shalat, amalan puasamu akan tertolak karena orang kafir tidak diterima ibadah darinya. (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Ibnu ‘Utsaimin, 17: 62)

Diselesaikan di Kampung Ory-Pelaw (Pulau Haruku, Maluku), 30 Sya’ban 1436 H menjelang Maghrib

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Ikuti update artikel Rumaysho.Com di Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat (sudah 3,6 juta fans), Facebook Muhammad Abduh Tuasikal, Twitter @RumayshoCom, Instagram RumayshoCom

Untuk bertanya pada Ustadz, cukup tulis pertanyaan di kolom komentar. Jika ada kesempatan, beliau akan jawab.


Artikel asli: https://rumaysho.com/11216-puasa-tetapi-tidak-shalat-puasa-tidak-sah.html